" LOVE IS NOT ABOUT AGE, LOVE IS ABOUT YOU AND I "
"Monic, di sini..." itu suara pertama yang aku dengar saat aku memasuki kafe. Suara itu jelas memanggilku, aku hafal betul siapa pemilik suara itu. Aku mengedarkan pandanganku mencari asal suara.
Di tempat duduknya, Niall melambai ke arahku dengan semangat. Dia memakai topi meski berada di dalam kafe, mungkin agar orang-orang tak mengenalinya. Meskipun boyband-nya masih dibilang baru, tapi dia sudah memiliki banyak fans. Jadi, sedikit penyamaran perlu saat dia keluar.
Aku berjalan cepat ke arahnya sambil melonggarkan syal yang melilit leherku, di dalam ruangan terasa lebih panas dibandingkan dengan di luar. Tanpa berkata apa pun, aku langsung duduk di depan Niall.
"Monic, kau terlambat," Niall cemberut.
"Maaf, tadi macet." Alasan. Ya hanya alasan, sebenarnya tadi aku bingung akan datang atau tidak. Aku sudah tiba di depan kafe sejak dua puluh menit yang lalu, sesuai dengan janjian kita. Tapi, mendadak aku ragu. Apa keputusanku benar? Apa menjalin hubungan dengan Niall bukanlah sebuah kesalahan? Baru sehari menjalin hubungan, aku sudah didera begitu banyak pertanyaan.
"Monic, kenapa?"
"Eh?" Aku tersadar di mana aku berada sekarang. Niall menatapku dengan khawatir.
"Monic, apa kau sakit?"
"Tidak."
"Lantas, kenapa? Aku tak marah kok kau terlambat," Niall memamerkan senyumnya. Dadaku berdesir seketika.
"Aku hanya banyak pikiran," aku memaksakan senyumku.
"Monic... hmmm, apa kau masih ragu dengan hubungan kita?" Pertanyaan itu benar-benar tepat sasaran. Aku tak mampu menjawabnya. Apa yang harus aku lakukan?
"Benar kan, Monic?" Niall menuntut jawabanku. Tapi, aku tetap diam. Aku menunduk.
"Monic, aku kan sudah bilang kemarin, cinta itu bukan tentang usia, tapi tentang kau dan aku. Aku mencintaimu dan kau mencintaiku, itu cukup."
Aku mematung di balik jendela kamar. Memandang kerlip lampu-lampu Kota London. Ingatanku kembali pada sore tadi, di kafe itu. Kata-kata Niall terngiang di kepalaku. Kata-kata itu sama dengan kata-katanya saat memintaku untuk menjadi kekasihnya.
"Monica, jadilah kekasihku, aku mencintaimu." Aku hampit tersedak minuman saat mendengar pernyataan itu.
"Niall...ku mohon jangan bercanda seperti ini," kataku sambil menetralisir debaran jantungku.
"Ya!! Monica, aku tak bercanda, aku mencintaimu, jadilah kekasihku, ya?" Aku memandang Niall lekat. Memang tak ada keraguan di matanya. Tapi, justru aku yang ragu.
"Monic, kenapa kau diam saja? Kau mau kan?"
"Niall... , tahukan kau, aku lebih tua darimu?"
"Tentu saja aku tahu itu."
"Lantas kenapa kau memintaku untuk menjadi kekasihmu?"
"Aku kan sudah bilang aku mencintaimu. Monic, cinta itu bukan tentang usia, tapi tentang kau dan aku." Aku tertegun mendengar jawaban itu. Haruskah aku menerimanya? Apakah aku mencintainya? Aku selalu meyakinkan diriku kalau aku hanya menyukainya, bukanlah mencintainya.
"Monic, kau mau kan?" Tuntut Niall. Entah setan mana yang merasukiku, aku mengangguk begitu saja. Niall langsung tersenyum dan mengecup pipiku sekilas, kemudian pergi, menghilang.
TOK-TOK-TOK
Ketukan di pintu kamarku menyadarkanku dari kenangan itu. Aku memandang sekeliling kamarku. Ketukan di pintu kembali terulang disusul sebuah panggilan.
"Monicaaaaaaa," suara mamah. Aku turun dari ranjangku dan menghampiri pintu.
"Ada apa mah?" tanyaku saat aku membuka pintu.
"Ayo makan, papah sudah menunggu."
"Iya."
♥♥♥ ♥♥♥
Aku berjalan cepat menuju studio. Sutradara pasti sudah uring-uringan karena aku tak ada.
"Ya!! Monica, dari mana saja kau!" suara Sutradara langsung menggema begitu aku masuk studio.
"Maaf Sutradara, tadi ada sedikit urusan," kataku sambil menunduk.
"Karena ini pertama kalinya kau terlambat, aku memaafkanmu, tapi tak ada lain kali."
"Iya sutradara, maaf", aku kembali membungkuk. Kemudian meraih skrip, headphone, dan walkie-talkie sebelum pergi ke sisi Serena, kameramen utama.
"Kau kenapa?" bisik Serena begitu aku berdiri di sampingnya.
"Terlambat bangun," aku balas berbisik. Meski aku tak melihatnya, tapi aku yakin kening Serena pasti berkerut. Ini pertama kalinya aku terlambat bangun. Sama sekali bukan gayaku.
Semalam aku tak bisa tidur, itu mengapa aku terlambat bangun tadi pagi. Hari ini aku akan bertemu Niall di program musik tempatku bekerja. Setelah beberapa minggu aku tak bertemu dengannya di program musikku, kini dia dan grupnya comeback dengan lagu baru mereka. Aku merupakan salah satu staf acara musik di salah satu stasiun TV. Itulah mengapa aku bisa mengenal Niall. Saat itu dia baru debut dengan grupnya.
♥♥♥ ♥♥♥
BRUUK!!!
Skrip yang sedang aku baca bertebaran di lantai. Aku langsung memungutnya dan seseorang yang menabrakku ikut berjongkok dan membantuku membereskan skrip yang berantakan.
"Maaf, aku tak melihatmu," dia minta maaf.
"Tak apa, aku juga tak melihatmu, aku sibuk membaca sambil jalan," aku tersenyum dan hendak pergi, tapi pemuda itu -seseorang yang menabrakku- mencegahku.
"Maaf, ini pertama kalinya aku ke sini. Aku baru dari toilet dan aku tak tahu jalan kembali ke ruang tunggu. Bisakah kau menunjukkan arahnya?" Pemuda itu mengangkat wajahnya dan memberiku senyuman setelah mengakhiri pertanyaannya. Aku terbius oleh senyuman itu.
"Ah, tentu, kau lurus saja, di ujung belok kanan, di depan pintu tertempel nama-nama artisnya."
"Terima kasih," kata pemuda itu.
"Ah, apa kau member boyband yang debut hari ini?"
"Iya, nama grupnya One Direction, namaku Niall, Niall Horan," Niall kembali memamerkan senyumnya. Aku ikut tersenyum. Senyum Niall membuatku ingin tersenyum juga.
"Aku Monica, Monica Maharani, staf acara yang akan menyiarkan debutmu."
"Benarkah?" Mata Niall berbinar, aku mengangguk.
"Sepertinya aku harus pergi, nah sampai ketemu di perform mu nanti," aku pergi seraya melambai padanya.
"Monicaaaa," aku merasakan sentuhan pelan di lenganku yang sukses membuyarkan kenanganku. Aku melirik Serena.
"Kenapa?"
"Waktunya bekerja," bisik Serena, sepertinya dia tahu aku sedang melamun.
♥♥♥ ♥♥♥
Monica bagaimana penampilanku tadi? Bagus kan?
Aku kembali mengulang isi pesan yang dikirim Niall padaku. Sudah berulang kali aku membacanya, tapi aku masih saja belum membalasnya. Aku bingung membalasnya. Saat One Direction perform tadi, debaran jantungku tak menentu. Aku tak sanggup berkonsentrasi.
"Monic, apa yang terjadi?" Aku hampir terlonjak dari kursiku. Serena sudah berdiri di sebelah kursiku. Aku bahkan tak menyadari kapan dia datang.
"Tak ada apa-apa."
"Lantas kenapa dari tadi kau hanya menatap ponselmu?"
"Ah, tidak apa." Aku memasukkan ponselku begitu saja ke tas. "Ada apa?"
"Ah, Sutradara mengajak kita makan malam, ayo," Serena menarik lenganku.
"Serena, aku tidak bisa ikut," aku melepaskan lenganku dari rangkulan Serena.
"Kenapa?"
"Maaf, sampaikan pada sutradara dan semuanya, aku ada urusan, aku pulang duluan." Aku menyambar tasku dan buru-buru keluar sebelum Serena mencegahku.
Aku menhembuskan napas berat saat sampai di halte bus. Beberapa hari ini membuatku sedikit frustasi. Hari ini tepat satu minggu aku menjalin hubungan dengan Niall. Dan selama seminggu ini, aku merasa menjadi orang lain. Memikirkan hubungan ini benar-benar membuat sakit kepala.
Beep beep beep
Sesuatu di sakuku berdering pelan. Aku mengambil benda yang meronta ingin di jawab itu. Aku menatap layar ponsel sebentar sebelum menekan tombol jawab.
"Halo...."
"Monica, kau di mana?"
"Di halte bus, kenapa?"
"Aku merindukanmu, ah, padahal kita baru bertemu beberapa jam yang lalu..." Niall tertawa di seberang sana.
"Niall......" belum selesai aku berbicara, Niall sudah memotong.
"Monica, kenapa kau tak membalas pesanku?"
"Maaf, tadi banyak yang harus dikerjakan," kilahku.
"Jadi bagaimana penampilanku?" Mau tak mau aku kembali mengingat penampilannya. Dia terlihat berbeda dari saat pertama kali aku melihatnya. Kostum yang dipakainya terlihat lebih maskulin.
"Bagus," hanya itu yang mampu aku ucapkan.
"Hanya itu?"
"Eh...? Hmm... kau terlihat tampan." Aku kaget dengan kata-kata yang aku ucapkan barusan.
"Wooow... ini pertama kalinya kau bilang aku tampan." Terdengar tawa Niall di ujung sana.
"Eh? Benarkah?"
"Iya, sebelumnya kau selalu bilang kalau aku cute."
Ah, benarkah? Aku tak menyadarinya. Tapi, memang dia terlihat cute saat debut pertama. Tapi, tadi keimutannya berubah menjadi ketampanan.
"Monica, kau masih di sana?"
"Ah, iya, kenapa?"
"Aku ingin bertemu... besok kita ketemu ya? Di kafe biasa, setelah aku selesai rekaman program musik, okay? Aku akan menghubungimu lagi. Bye..." Ah... aku bahkan belum menjawab, tapi Niall sudah menutup sambungan telepon. Aku menghembuskan napas berat. Selalu seperti ini. Dia tak pernah menungguku menjawab.
♥♥♥ ♥♥♥
"Monic, kau baik-baik saja?" aku mengalihkan pandangan dari es krimku mendengar pertanyaan itu.
"Tentu aku baik, kenapa?"
"Kau tampak pucat, apa kau bekerja terlalu keras?"
"Benarkah? Mungkin karena udara sedikit dingin," kataku berkilah. Apa aku sepucat itu sampai Niall cemas?
"Monica, sepertinya sejak kita menjalin hubungan, ada yang berubah darimu, kau tampak tak bahagia..." Niall menunduk sedih. Aku sedikit terkejut dengan pernyataan itu.
"Apa yang kau katakan? Aku bahagia." Aku memamerkan senyum.
"Kau tak seperti sebelumnya, apa hubungan ini sangat membebanimu?" kini aku tak sanggup menjawabnya.
"Monica, apa kau masih saja memikirkan perbedaan usia kita? Aku kan sudah sering mengatakannya kalau....."
"Cinta bukan tentang usia, tapi tentang kau dan aku," aku memotong perkataan Niall. "Maaf Niall, rasanya memang berat..."
"Monica....., aku mencintaimu, aku tak perduli apa yang orang lain katakan. Yang aku tahu aku mencintaimu, aku bahagia bersamamu."
"Niall......." aku tak sanggup melanjutkan perkataanku. Apa selama ini aku terlalu takut dengan pandangan orang? Atau aku takut pada diriku sendiri?"
"Monica, aku memang ingin selalu di sisimu, tapi aku tak ingin kau tak bahagia..."
"Niall..., maaf aku yang salah. Aku bahagia bersamamu." Niall mengangkat wajahnya.
"Benarkah itu? Jadi kau tak akan meminta putus?" Aku menggeleng. Niall langsung bangkit dari kursinya dan memelukku.
Aku berjalan riang menuju ruanganku. Aku tersenyum begitu melihat sebuket mawar merah bertengger di mejaku. Aku mencium bunga itu sebelum membaca kartunya.
--- Monica, mawar merah ini penggantiku untuk mengucapkan selamat pagi. Tersenyumlah...aku bahagia jika kau bahagia --- Love Niall
Aku kembali mencium mawar merah itu setelah membaca kartu ucapannya. Aku merasa bisa melakukan apa pun hari ini.
"Kau benar-benar berkencan dengan member baru itu?" Serena yang duduk di sebelahku menyikutku. Aku hanya mengangguk. "Ya! Dia jauh lebih muda darimu..."
"Lebih muda dua tahun dariku, lalu kenapa?"
"Lantas? Apa kau benar-benar menyukai pemuda itu?"
"Tentu Saja."
"Tapi...?" Serena tak melanjutkan perkataannya. Raut wajahnya masih menyimpan keraguan.
"Tenang saja Serena, aku tahu apa yang aku lakukan. Aku sudah memutuskan, aku akan menjalaninya." Aku pergi meninggalkan Serena. Ya, aku akan menjalaninya, keegoisanku menang kali ini. Entah apa yang akan terjadi nanti, biarlah itu terjadi nanti. Sekarang aku akan menikmati cinta ini bersama Niall Horan.
^0^ THE END ^0^
0 komentar:
Posting Komentar