Misi terbesarku adalah membuatnya tersenyum.
Tidak, hal itu tidak semudah yang kalian bayangkan. Apalagi, jika sahabatku itu belum lama ini kehilangan oppa satu-satunya.
Berbeda dengannya, aku anak tunggal, tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan dongsaeng satu-satunya. Tapi, satu hal yang pasti, aku tidak bisa terus-terusan melihatnya bersedih.
"Minna, kau mau es krim?"
Minna menoleh kearahku. Seperti biasa, tatapan matanya kosong, menandakan dia tidak tertarik. Tapi, jawaban lain yang keluar dari mulutnya.
"Boleh," balasnya lirih, lalu beralih memandang anak-anak kecil sedang bermain di taman.
Aku menghela napas, menggaruk kepalaku yang tidak gatal karena dibuat bingung lagi olehnya. Sudah dua bulan berlalu, tapi tampaknya tak ada tanda-tanda Minna akan kembali seperti yang dulu.
Minna yang ceria, cerewet, menyenangkan. Minna yang aku sukai.
Minna memang menyukai es krim. Dulu, ketika ada tukang es krim dekat kami dan aku memberitahu Minna, biasanya dia akan langsung menarik tanganku dan memaksaku mentraktirnya.
Kini berbeda. Semenjak oppa-nya, Choi Minho, tertabrak mobil truk tepat di depan matanya karena ingin menyelamatkan adik kesayangannya, tapi justru Minho hyung sendiri yang nyawanya tidak tertolong. Sejak itulah hidupnya berubah, seperti kehilangan arah.
"Ini es krimmu," kataku sambil menunjukkan es krim itu di hadapannya. Seperti dugaanku, wajahnya tetap datar dan tidak sedikitpun menunjukkan bahwa Minna menginginkan es krim itu. Tapi, dia tetap mengambil es krim itu dari tanganku.
"Gomawo," katanya lirih. Dia hanya memegang es krim itu tanpa memakannya sama sekali, masih terpaku melihat pemandangan anak-anak kecil yang bermain didepannya.
Aku memerhatikan wajahnya. Sepertinya dia sedang mengingat masa kecilnya, ketika bermain bersama oppa-nya di taman. Aku bisa membayangkan betapa bahagianya mereka berdua, karena dulu aku juga berada di tengah-tengah mereka. Aku sudah bersahabat dengan Minna dan Minho hyung sejak kecil. Sejak keluargaku pindah ke daerah ini dan tinggal persis di sebelah rumah keluarga Choi.
"Adik kecil, kemari!" teriak Minna. Aku cukup kaget mendengar suaranya. Aku melongo melihatnya tersenyum, tapi kentara sekali jika itu adalah senyum yang dipaksakan.
Anak kecil perempuan yang merasa dipanggil itu segera menghampiri Minna, bersama seorang temannya. Tidak, bukan. Aku rasa itu oppa-nya si anak kecil yang dipanggil oleh Minna. Mau apa Minna?
"Kau mau es krim?" tanya Minna kepada gadis kecil itu. Gadis kecil itu mengangguk, lalu menerima es krim tersebut dan langsung memakannya.
"YA! Sinhye, kau harus mengucapkan terimakasih kepada noona ini!" kata anak kecil laki-laki yang satu lagi. Aku bisa melihat Minna tersentak lalu menutup mulutnya dengan telapak tangannya.
Sin Hye dan Oppa Shi Yoon |
Pemandangan ini, persis seperti Minho hyung jika sedang memarahinya sewaktu kecil dulu.
Anak lelaki itu terus mendesak adiknya dan Minna mulai tidak bisa menahan air matanya.
"Sinhye, kau membuat noona ini menangis, cepat minta maaf!" kata anak lelaki itu.
"Eonnie, maafkan aku, terimakasih untuk es krimnya," kata gadis kecil yang bernama Sinhye itu. Minna tidak mengatakan sesuatu, tetapi dia langsung bangkit dan berlari menjauh.
"MINNA!" teriakku, tapi sama sekali tidak digubrisnya. Kedua anak kecil yang ada dihadapanku itu memasang tampang bingung. "Dengar, adik-adik, kakak itu sedang bersedih. Dia menangis bukan karena kalian. Mengerti?" tanyaku yang disambut anggukan oleh merekan berdua. Aku tersenyum, lalu berlari mengejar Minna. Aku sudah tahu kemana dia pergi.
Aku menemukan Minna meringkuk di sudut sebuah pos keamanan yang sudah tidak terpakai; yang menjadi markasku, Minna, dan Minho hyung sejak kecil hingga sekarang kami beranjak dewasa.
Aku berlutut dihadapannya dan menyentuh bahunya. Dia menunjukkan wajahnya yang semula tertunduk dan kini sarat akan kesedihan.
"Dia... dia mirip Minho oppa..."
Aku tahu yang Minna maksud dengan 'dia' adalah anak kecil yang tadi.
"Aku merindukannya, Taemin. Aku merindukan Choi Minho. Oppa-ku..."
oppa taemin and oppa minho |
minna |
Tangisnya semakin menjadi. Aku mengusap pipinya yang penuh air mata. Jika sudah begini, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
Aku merengkuh seluruh tubuhnya dan membiarkan Minna menangis di bahuku, membelai rambut panjangnya. Tidak banyak membantu memang, tapi hanya ini yang bisa aku lakukan saat ini.
Dia juga pasti merindukan senyummu, Minna.
Aku kembali membuka lembaran buku itu. Sebuah buku yang penuh tulisan, curahan keseharian seorang Choi Minho ada padaku.
"Oppa...," Minna terisak di hadapan Minho hyung yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan tubuh yang penuh cucuran darah dan lilitan kabel. Aku juga tak kalah panik meski muncul belakangan. Pihak rumah sakit sudah memberikan pertolongan sejak empat jam lalu, tapi mereka bilang kemungkinan Minho hyung untuk bertahan lebih lama sangat sulit karena kehilangan banyak darah dan beberapa organ tubuh vital rusak akibat hantaman truk. Aku menggenggam tangan Minho hyung, berharap bisa memberinya kekuatan.
"Hyung, bertahanlah," bisikku di telinganya. Minho hyung menoleh ke arahku. Matanya terlihat sangat berat, menahan sakit yang menerjang seluruh tubuhnya.
"Aku.. sudah.. tidak.. bisa..," Minho hyung mencoba berbicara dengan seluruh tenaganya yang masih tersisa. Minna mengusap wajah oppa-nya dengan lembut dan menggeleng-geleng kuat.
"Tidak, tidak usah bicara, oppa," Minna masih terisak. Matanya memerah dan pipinya penuh air mata. Minho hyung menatap adik satu-satunya dengan mata sendu, mencoba untuk tersenyum. Minna juga tersenyum. "Lihat, oppa terlihat tampan jika tersenyum."
Minho hyung menggerakkan tangannya ke tubuh Minna, berusaha menarik Minna ke dalam pelukannya. Minna langsung memeluk oppa-nya kuat-kuat dan tanpa Minho hyung tahu Minna tidak bisa membendung air mata yang sudah menumpuk di matanya.
"Kau tahu.. aku.. selalu.. menyayangimu, adik kecilku...," kata Minho hyung terpatah-patah. Lagi-lagi, Minna menggeleng.
"Kalau oppa menyayangiku, jangan tinggalkan aku," pinta Minna.
"Tae... min...," Minho hyung memanggilku. Minna melepaskan pelukannya, tapi tetap menggenggam tangan oppa-nya erat-erat. Aku mendekatkan kepalaku ke wajah Minho hyung. "Bukuku... tetap... kau yang... simpan...," pinta Minho hyung. Aku menggangguk cepat, mulai tidak suka dengan suasana ini. Keringat dingin mengalir dari dahiku. Firasatku buruk.
Tubuh Minho hyung mengejang sesaat, Minna dan aku berteriak panik memanggil namanya, ditambah mesin pendeteksi detak jantung itu berbunyi dengan tempo cepat. Aku menekan tombol yang berada di tembok untuk memanggil dokter ke sini.
"Satu.. lagi.. Tae.. min..," kata Minho hyung. Aku tidak tahu darimana dia mendapatkan kekuatan untuk bicara lagi. Aku mendekatkan kepalaku dan dia menatapku sendu, penuh harap. "Buat.. Minna.. tersenyum.. jan..ji?" tanya Minho hyung. Sebelum aku berhasil mencerna permintaannya, aku sudah mengangguk. Minho hyung tersenyum, wajahnya terlihat sangat lelah. Dia memejamkan matanya, lalu suara dengingan panjang terdengar dari mesin pendeteksi jantung.
"OPPAAAAAAAAAAAA!"
"HYUUUUUUUUUUUNG!"
Aku dan Minna berteriak bersamaan. Minna mengguncangkan tubuh Minho hyung, tapi tidak ada hasil. Lalu beberapa perawat masuk ke ruangan ini bersama seorang dokter pria. Mereka langsung mengerubungi Minho hyung dan menyuruh kami keluar ruangan, tapi Minna menggeleng kuat, tidak mau meninggalkan oppa-nya. Aku mendekati Minna lalu menarik tubuhnya.
"Tidak, Taemin, kasihan Minho oppa sendirian di sini, dia pasti ketakutan!" teriak Minna yang mulai meracau tidak jelas. Dia menepiskan tanganku dan berniat menghampiri Minho hyung lagi, tapi aku sudah keburu merengkuhnya dari belakang.
"Minna, biarkan oppa-mu tenang, ya?" kataku setenang mungkin dengan nada bergetar, karena air mata juga sudah jatuh dari pelupuk mataku. Minna meronta ingin melepaskan diri, tapi akhirnya aku berhasil menariknya keluar ruangan.
"OPPAAA!" teriak Minna untuk yang terakhir kali, tapi tetap tidak ada reaksi.
Choi Minho sudah pergi meninggalkan dunia.
Aku menghela napas. Kenangan itu berputar kembali di kepalaku.
Jujur, aku juga sangat kehilangan Minho hyung. Dia cowok yang sangat baik, selalu membelaku di sekolah karena tahu aku tidak pernah sengaja mencari keributan. Dia sering membantuku mengerjakan PR saat masih sekolah, karena dia sangat pintar. Dia sudah kuanggap seperti kakakku sendiri. Cukup wajar mengingat aku anak tunggal dan mendambakan rasanya memiliki dongsaeng. Dan sebenarnya wajar saja jika Minna benar-benar kehilangan.
Aku membalik lembaran buku harian Minho hyung. Buku yang dia pinta aku untuk menyimpannya. Aku tidak tahu kenapa justru dia menyuruhku untuk menyimpannya, bukan adiknya sendiri. Lagipula, sepertinya tidak ada tulisan yang disembunyikan Minho hyung dari Minna. Kecuali tulisan di halaman terakhir, aku tidak tahu bahasa apa yang Minho hyung gunakan. Pokoknya bahasa asing yang tidak aku kuasai. Sepertinya tidak bercerita tentangku atau Minna, karena hanya ada nama Nikki dan Monica di situ.
Kini, aku membolak-balikkan buku harianku sendiri. Dulu Minho hyung yang menyarakanku untuk menulis buku harian. Sebulan sekali, kami bertukar buku harian untuk dibaca. Alhasil, semua rahasiaku diketahui oleh Minho hyung, termasuk aku yang menyukai Minna sejak lama. Tapi, tentu saja Minna tidak tahu akan hal itu. Belum.
Tidak tahan, aku menutup kedua buku itu dan memasukkannya ke dalam tas. Hari ini aku akan mengajak Minna jalan-jalan lagi. Aku sudah berjanji kepada Minho hyung untuk membuat Minna tersenyum. Sesulit apapun, aku akan tetap mencobanya.
✿✿✿
Sudah sejam lebih aku dan Minna mengitari pusat perbelanjaan ini. Sebenarnya kakiku lelah, tapi Minna bersikeras tidak mau duduk. Jadi terpaksa aku mengikuti kemana dia pergi. Apalagi keadaannya seperti ini; antara sadar dan masih terpaku pada masa lalu. Takut dia melakukan hal-hal yang. Aahh, aku sendiri tidak berani membayangkannya.
Kakinya berhenti melangkah ketika melewati bioskop. Matanya terpaku pada salah satu poster film yang diputar hari ini. Wah, sepertinya dia sudah mulai sadar kembali ke masa yang sekarang.
"Kau mau nonton?" tawarku semangat, hatiku berdebar menanti jawabannya. Bukan senang karena dia mau aku ajak nonton, tapi paling tidak dia mulai menyadari apa yang ada di sekelilingnya.
Minna menatapku dengan linglung, lalu menggeleng dan kembali menatap poster itu.
"Oppa bilang dia ingin sekali menonton film ini," gumam Minna sembari menerawang. Aku mendengus kesal. Entah sudah berapa kali aku menahan kesal seperti ini sejak dua bulan lalu.
"Minho oppa lagi," gumamku kesal. Minna langsung menoleh ke arahku. Sepertinya dia marah.
"Oppa memang ingin menonton film ini, kok!" kata Minna ketus.
"Aku mengerti, Minna. Tapi, sadarlah oppa-mu sudah meninggal! Film yang ingin ditontonnya sudah tayang di bioskop tidak akan membuatnya kembali!" balasku dengan nada tertahan.
Minna tersentak mendengar perkataanku. Seketika air mata menggenang di pelupuk matanya.
Aku benci suasana ini.
Aku menarik tangannya ke sudut pusat perbelanjaan yang lebih sepi dari lalu lalang orang-orang. Minna terus saja menunduk.
"Taemin, lepaskan tanganku," pintanya lirih. Aku melepaskan tangannya. Minna mengangkat wajahnya. Pipinya sudah basah oleh air matanya sendiri.
"Minna...," aku menggerakkan tanganku hendak mengusap pipinya, tapi dia menepisnya pelan. Aku menghela napas. "Minna, mau sampai kapan kau terus begini? Apa kau pikir Oppa-mu akan bahagia jika melihatmu seperti ini?" tanyaku lembut.
"Jangan berkata seolah kau mengerti soal kematian, Taemin," Minna bersuara. "Dari mana kau tahu tentang itu?"
"Kau dengar sendiri pesan terakhir dari Minho hyung? Dia ingin kau tersenyum," balasku.
"Bagaimana aku bisa tersenyum jika oppa pergi meninggalkanku?" Minna setengah berteriak, napasnya memburu. "Oppa egois! Kenapa meninggalkan aku sendiri? Harusnyaa dia ikut membawaku!"
"Minna, jaga ucapanmu!" kataku cepat. Minna menggeleng, lalu menatapku tajam.
"Mudah bagimu bicara seperti itu! Karena kau tidak punya dongsaeng dan tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan dongsaeng satu-satunya! Dan dia tertabrak tepat di hadapanku, Taemin!" Minna mulai kehilangan kendali emosinya.
Aku mengepalkan tanganku, sudah tidak tahan dengan cerita ini. Aku sudah mendengarnya ribuan kali dan biasanya reaksiku adalah diam. Tapi kali ini, tidak.
"Aku memang tidak akan pernah mengerti bagaimana perasaanmu, Minna. Aku memang anak tunggal, tidak tahu bagaimana rasanya memiliki dan kehilangan dongsaeng satu-satunya. Meskipun aku sudah menganggapnya seperti hyung-ku sendiri, hal itu tidak akan pernah sama dengan rasa kehilanganmu. Tapi satu hal yang harus kau sadari. Kenapa dia mengorbankan dirinya untuk menyelamatkanmu?"
Minna terdiam.
"Karena dia tidak ingin kau terluka. Dia ingin kau tetap hidup. Dia ingin kau selalu tersenyum. Jika sikapmu yang sekarang ini adalah caramu membalas apa yang dia lakukan untuk membuatmu tetap hidup, aku rasa sia-sia saja dia mengorbankan hidupnya untukmu.."
Aku melangkahkan kakiku untun pergi, tanpa sadar tasku menyenggol lengannya, tapi aku tidak berbalik bahkan untuk sekedar minta maaf. Dan Minna juga tidak memanggilku kembali. Kurasa dia perlu waktu untuk sendiri.
Sudah lewat tengah malam dan aku sama sekali tidak bisa tidur mengingat kejadian di pusat perbelanjaan tadi. Sepertinya sikapku kekanak-kanakkan dan sudah bisa dipastikan aku juga kehilangan kendali atas emosiku. Aku merasa bersalah kepada Minna.
Aku meraih ponselku dan mencoba menghubunginya untuk yang kesekian kali malam ini. Sejak tadi ponselnya tidak diangkat. Aku jadi sedikit khawatir. Dan sekarang ponselnya juga tetap tidak diangkat. Ah, semoga saja dia hanya men-silent-kan ponselnya.
Perutku keroncongan, teringat belum makan sejak matahari masih bersinar. Orangtuaku sedang keluar kota. Praktis tidak ada makanan di rumah, kecuali mie instan, tapi perutku sudah tidak mau menerima alasan apapun, meronta meminta segera diisi.
Aku melesat menuju dapur dan mataku tertuju pada tas yang aku lempar sembarangan ke meja makan. Aku menyiapkan mie instan kemasan mangkuk dan menuangkan bumbu serta air panas ke dalamnya lalu menutupnya menunggu matang, dan beralih kepada tas itu. Aku menyentuh tasku, lalu melihat resletingnya sudah terbuka. Eh? Seingatku, aku belum membongkar isinya sejak pulang tadi.
Dengan jantung berdebar aku memeriksa isi tasku dan mendapati buku harian Minho hyung dan buku harianku tidak ada di sana. Wah, bagaimana ini? Apa mungkin terjatuh di pusat perbelanjaan? Aku harus segera mencarinya! Tapi, ini kan sudah lewat tengah malam. Bagaimana ini?
"Aaaarrrrrggghh!" aku menjambak rambutku sendiri karena frustasi. Besok aku harus mencarinya!
Dan nafsu makanku hilang seketika.
✿✿✿
Yang aku ingat aku baru tidur selama satu jam ketika mendengar bel rumahku berbunyi nyaring. Mataku menyipit mencoba menghalangi sinar matahari yang masuk ke kamarku melalui jendela lalu melirik jam di atas mejaku. Ini baru jam enam pagi. Siapa yang iseng berkunjung ke rumahku sepagi ini?
Dengan malas dan masih setengah sadar aku membukakan pintu, tapi tidak ada siapa-siapa. Jadi kemungkinan adalah memang ada orang iseng menekan bel rumahku. Bagus.
Baru saja aku hendak menutup pintu ketika aku melihat sesuatu di atas keset. Aku berlutut untuk memastikan benda apa itu. Mataku terbuka seketika.
Ini... ini... buku harianku dan Minho hyung yang hilang semalaman. Siapa yang mengembalikannya, ya? Dan bagaimana dia bisa tahu jika aku pemilik kedua buku ini?
Oh ya, aku baru ingat jika aku iseng menuliskan alamat rumahku di lembar pertama buku ini. Ternyata berguna juga.
Aku bangkit dan memerhatikan sekelilingku. Tidak ada siapa-siapa. Aku kembali memandang kedua buku itu dan tersenyum sembari menutup pintu.
Siapapun yang telah mengembalikan buku ini, terima kasih.
✿✿✿
Aku mengetuk pintu rumah Minna. Aku harus meminta maaf padanya atas perkataanku kemarin. Bagaimanapun juga aku harus menjaga perasaannya.
Aku terkejut ketika yang membukakan pintu adalah Minna. Ini sangat tidak biasa. Dua bulan terakhir ini Minna tidak pernah membukakan pintu rumah untuk siapa pun, termasuk aku. Satu kemajuan yang luar biasa, tapi aku belum bisa berharap banyak. Ada kantung hitam di bawah matanya, apakah dia semalaman terjaga karena memikirkan yang aku katakan kemarin?
"Minna, soal kemarin, aku minta maaf," kataku pelan. Minna langsung mengangguk.
"Tidak apa-apa. Kau tidak salah," balas Minna cepat. Suasana tiba-tiba berubah kikuk.
"Oya, Taemin, bisa menemaniku jalan-jalan?" tanya Minna, nada suaranya terdengar lembut. Aku melongo. Keanehan kedua dalam kurun waktu kurang dari lima menit terjadi.
"Baiklah," balasku cepat. Ini sungguh langka. Biasanya aku yang mengajaknya jalan-jalan, itupun setengah memaksanya. Dia menyuruhku masuk untuk menunggunya bersiap-siap sejenak, lalu Choi ahjussi dan ahjumma menghampiriku.
"Apa yang terjadi kemarin, Taemin?" tanya Choi ahjumma. Jantungku berdebar keras.
"Itu...," kataku gugup sambil menggaruk leherku yang tidak gatal, bingung harus menjawab apa.
"Tidak apa-apa jika kau tidak bisa menceritakan, Taemin. Tapi ada yang berubah dari Minna hari ini. Dan sepertinya.. perubahan yang baik," kata Choi ahjumma sambil tersenyum. Aku menatap mereka berdua dengan bingung, tidak mengerti maksud pembicaraan ini.
"Ayo, kita berangkat," ajak Minna yang tiba-tiba sudah ada di hadapanku. "Umma, appa, aku pergi dengan Taemin," kata Minna. Ini keanehan ketiga hari ini. Sebelumnya aku yang selalu meminta izin mengajak Minna pergi. Aku juga pamit kepada Choi ahjussi dan ahjumma.
"Kita mau ke mana?" tanyaku pada Minna setelah dia menutup pintu. Minna hanya menggeleng.
"Ke mana saja, asal kau bersamaku," kata Minna enteng, lalu menggenggam erat tanganku.
DEG! Apa ini? Kenapa lagi dengannya? Aigooo...
Tuhan, semoga ini bukan mimpi.
✿✿✿
Aku dan Minna kini berada di satu pusat perbelanjaan besar. Sudah beberapa lama kami berkeliling tanpa tujuan. Dan ya, tangannya masih menggenggam tanganku.
Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika kami melewati area bermain ice skating. Minna memandangi orang-orang yang sedang meluncur di atas es dari balik tembok kaca.
"Kau mau bermain ice skating?" tanyaku lembut. Minna sama sekali tidak menoleh kepadaku, tapi dia mengangguk mantap.
"Ya," jawab Minna. Sebelum aku sempat berpikir, dia langsung menarikku ke dalam. Selesai membayar dan memakai sepatu ice skating kami berdua langsung masuk ke arena es.
"Pelan-pelan," kataku memperingatkan Minna ketika dia mengapit lenganku dengan kedua tangannya, seperti takut terjatuh. Aku tersenyum melihat tingkahnya. Sebenarnya kami berdua tidak begitu pandai meluncur di atas es. Tidak seperti Minho hyung.
Sesaat aku terdiam. Apa mungkin Minna kemari karena memikirkan oppa-nya lagi?
"YA! Lee Taemin, kapan kita akan mulai meluncur?" desak Minna. Aku sedikit terkejut karenanya. Dan akhirnya kami berdua meluncur pelan di atas es. Sedikit sulit karena kedua tangan Minna tetap mengapit lenganku. Terlampau erat, malah.
Tiba-tiba seseorang menyenggolku hingga aku terhuyung dan akhirnya terjatuh. Minna juga terjatuh di atasku. Untunglah pisau di bawah sepatuku tidak mengenai Minna.
"Aduuuuh...," aku mengaduh kesakitan sambil mengusap lututku, sampai aku mendengar suara tawa di belakangku.
Aku menoleh ke sumber suara itu dan mendapati Minna sedang tertawa keras. Begitu gelinya hingga dia tertawa sambil memejamkan mata dan tangannya memegangi perutnya.
Apakah ini kenyataan?
"Mau sampai kapan kau mencium es itu? Cepat bangun!" perintah Minna yang tiba-tiba sudah berdiri, masih sambil tertawa. Kesadaranku karena melihat tawanya tadi belum sepenuhnya pulih. Dia mengulurkan tangannya, ingin membantuku berdiri. Aku menerima uluran tangan itu dengan sedikit ragu. "Ayo, kita ke sana!" ajak Minna sambil menarik tanganku. Dia masih tertawa-tawa.
"Ng... Minna, kau baik-baik saja?" tanyaku ragu. Tapi, yang kudapatkan adalah tatapan tajam darinya. Persis seperti Minna yang aku kenal dulu. "Baiklah, baiklah, aku tidak akan bertanya lagi.."
Kami berdua meluncur. Jemari tangan kami saling bertautan dan Minna tertawa-tawa, tampak menikmati suasana ini. Aku juga menikmatinya, mencoba melupakan apa yang terjadi kemarin.
Dan jika boleh narsis, aku rasa kami berdua terlihat seperti sepasang kekasih.
Setelah beberapa putaran, Minna mengajakku beristirahat dengan duduk sekitar area ice skating. Aku tidak tahu kenapa dia memilih area yang cukup sepi dari lalu lalang orang-orang.
"Sepertinya hanya kau yang bisa berkeringat setelah bermain ice skating," kataku sambil mengusap keningnya yang berkeringat. Minna tersenyum menatapku.
"Mianhae, Taemin," kata Minna. Nada bicaranya terdengar sedikit gusar. Aku menjauhkan tanganku dari wajahnya, bingung dengan arah pembicaraan ini. "Belakangan ini aku seperti orang gila karena kehilangan Minho oppa. Kata-katamu kemarin benar, Taemin. Tidak seharusnya aku menyesali kematiannya. Dia mengorbankan hidupnya...demi aku." Nada suara Minna mulai bergetar. Tanganku terkepal, karena jika aku benar-benar merengkuhnya maka setelah itu dia pasti akan menghentikan kata-katanya. Tidak. Sudah saatnya aku membiarkan Minna menguatkan hatinya, mengeluarkan semua beban yang ada di hatinya. Jika tidak, dia akan terus seperti ini. Semua demi kebaikan Minna.
Pandangannya menuju langit-langit. Dia memejamkan matanya dan sepertinya tidak bisa menahan air matanya. Dia menatapku sendu.
"Jika dia memang ingin melihatku selalu tersenyum, aku bisa melakukannya. Aku akan melakukannya. Aku tahu aku bisa, karena dia pernah menjadi bagian dari hidupku...," Minna mulai terisak. Aku memegang kedua bahunya. "Tapi sekarang, biarkan aku menangisinya untuk yang terakhir kalinya. Setelah itu, aku janji, aku tidak akan menangisinya lagi. Aku akan merelakan kepergiannya. Aku akan melupakan semuana. Boleh kan, Taemin?"
Entah kenapa Minna bertanya seperti itu padaku dan entah apakah aku punya kuasa untuk tidak mengabulkan keinginannya. Aku tidak menjawab, hanya melingkarkan tanganku di pinggangnya dan memeluknya erat, membiarkan tangannya melingkar di leherku, menyandarkan dagunya di bahuku. Aku bisa merasakan suara napasnya yang tersengal karena menangis sesenggukan. Aku memejamkan mata dan tersenyum.
"Tidak ada yang memintamu melupakannya, Minna. Justru kau tetap harus mengingatnya."
Aku tahu, Minna gadis yang kuat.
✿✿✿
"Apa? Jadi begitu? Baiklah, aku akan memberitahu Minna."
Aku memutuskan sambungan telepon di ponselku dan menatap Minna yang duduk di sebelahku dan menatapku dengan matanya yang bulat besar.
"Orangtuaku sudah kembali dari luar kota dan orang tuamu sedang makan malam di rumahku. Umma bilang kau nanti janji harus ke rumahku, ya," kataku. Mulut Minna membentuk huruf O lalu mengangguk-angguk. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya.
Tak lama, taksi yang kami tumpangi sampai di depan rumahku. Aku membayar taksi dan segera mengajak Minna masuk ke rumahku.
Kami mendengar suara tawa ketika aku membuka pintu rumah. Sepertinya mereka sedang di ruang keluarga. Kami berdua segera menghampiri mereka.
"Ah, kalian muncul tepat pada waktunya!" kata umma begitu melihatku. Aku tersenyum. Minna membungkuk hormat kepada kedua orangtuaku.
Setelah berbasa-basi sejenak, aku mengajak Minna ke halaman belakang rumahku yang berada tepat di belakang ruang keluarga. Ada kolam renang di sana. Aku menggulung celana panjangku sebatas lutut dan duduk di tepi kolam renang, diikuti Minna. Sebenarnya kami sering melakukan ini, tapi aku tidak ingat kapan terakhir kali melakukannya.
"Oya, Taemin, apa ada yang mau kau katakan padaku?" tanya Minna. Aku mengerutkan kening.
"Maksudmu? Sepertinya tidak ada yang mau aku katakan padamu," jawabku sembari mengingat-ngingat. Minna menjitak kepalaku. "Ah, appo!" kataku setengah berteriak sembari mengusap puncak kepalaku.
"Ah, Lee Taemin, kau ini bagaimana, sih? Kenapa tidak katakan saja kalau kau suka padaku?"
DEG!
"Dari mana kau tahu?" tanyaku gugup. Minna tersenyum.
"Dari buku harianmu dan milik oppa," jawab Minna. Keningku kembali berkerut. "Kemarin kau menjatuhkan buku itu. Semalaman aku membacanya sampai tidak tidur. Dan tadi pagi, yang menekan bel rumahmu adalah aku..."
Semua mulai jelas sekarang. Jadi, Minna membaca buku itu? Berarti dia tahu semuanya?
"Lalu sekarang bagaimana?" tanyaku polos.
"Apanya yang bagaimana? Apa oppa tidak pernah bercerita kalau aku menyukaimu?" tanya Minna tak kalah polosnya. Aku tersentak, lalu menggeleng cepat. "Ah, oppa payah. Tapi, oppa kan menulis tentang kita di lembar terakhir buku hariannya."
"Tentang kita? Memangnya kau tahu apa yang Minho hyung tuliskan disitu?" tanyaku bingung.
"Tentu saja aku tahu, itu kan ditulis dalam bahasa Perancis," jelas Minnaa. "Pantas saja oppa tidak mau aku yang menyimpan buku itu. Kalau tidak, pasti aku sudah tahu sejak lama..."
"Tapi, yang ada disitu kan nama Nikki dan Monica..."
"Nikki itu namamu dan Monica itu namaku dalam bahasa Inggris, Taemin."
Aku menatapnya tajam. "Jadi, maksudmu, kau juga... menyukaiku?" aku kembali memastikan pendengaranku. Minna mengangguk, lalu wajahnya berubah merona. Jantungku berdegup kencang, bagaimana ini? Tapi jika aku tidak bergerak sekarang juga.
Aku bergetar mendekati Minna. Sekarang tidak ada jarak antara tubuhku dan tubuh Minna.
Entah keberanian apa yang tiba-tiba muncul di diriku hingga tanganku menarik dagunya, mendekatkan wajahku ke wajahnya. Aku memiringkan kepalaku dan... mengecup bibirnya.
Aku melepaskan kontak bibirku dari bibirnya, tapi tidak menjauhkan wajahku. Ternyata tiga detik berciuman terasa seperti selamanya. Aku tersenyum, sedangkan Minna menatapku bingung.
"Maaf jika aku kurang ajar. Tapi, aku sudah sempat meminta izin kepada oppa-mu untuk menciummu. Dan dia mengizinkan. Kau sudah baca lembaran tepat sebelum lembaran terakhir buku harian Minho hyung yang aku coret seenaknya, kan?"
Minna mengangguk. Lembar sebelum halaman terakhir buku harian Minho hyung memang tulisan tanganku yang meminta izinnya untuk mencium Minna suatu hari nanti. Dan Minho hyung menambahkan tulisan "TENTU SAJA" sebesar-besarnya.
"Tapi...," kata Minna gugup, "kenapa kau tidak meminta izin langsung padaku?"
"Kita akan sama-sama tahu jawabannya sebentar lagi," kataku penuh rahasia, lalu menciumnya lagi sebelum dia bicara. Seperti yang kuduga, dia membalas ciumanku. Berarti dia tidak keberatan jika aku menciumnya, bukan?
Aku menarik tubuhnya mendekat dan merasakan tangannya melingkar di pinggangku. Tidak perlu kata-kata lagi, kami sudah tahu perasaan masing-masing.
Ah, sepertinya orangtua kami berdua menyaksikan aksi kami ini dari dalam rumah.
Ya sudah, mau bagaimana lagi?
✿✿✿
Ternyata kedua adikku saling menyukai! Bukankah berita ini sangat menggembirakan?
Nikki dan Monica, mereka benar-benar pasangan yang serasi!
Tapi, aku memang sengaja tidak mau terlibat dalam perasaan mereka berdua. Sepertinya tidak akan menyenangkan jika Nikki tahu perasaan Minna, dan Monica tahu perasaan Nikki dariku, bukan?
Jadi biar saja mereka saling mengungkapkan perasaan masing-masing. Itu akan jauh lebih menyenangkan.
Aigooo, ternyata adik kecilku sudah besar!
Aku pasti akan menjadi penggemar terberat mereka berdua, hahaha.
Aku percaya mereka akan menjadi pasangan kekasih paling bahagia sedunia. Dan Monica, dia pasti akan selalu tersenyum jika Nikki ada di dekatnya.
Apa pun, jika menyangkut senyuman di bibir adik kecilku, aku tentu akan merestuinya, bahkan rela mengorbankan yang aku miliki.
Nikki dan Monica, fighting !!
(lembar terakhir buku harian Choi Minho dalam bahasa Perancis)
✿✿✿
THE END
#copy and paste from Book "Best Fanfiction Korea"
"Kau mau nonton?" tawarku semangat, hatiku berdebar menanti jawabannya. Bukan senang karena dia mau aku ajak nonton, tapi paling tidak dia mulai menyadari apa yang ada di sekelilingnya.
Minna menatapku dengan linglung, lalu menggeleng dan kembali menatap poster itu.
"Oppa bilang dia ingin sekali menonton film ini," gumam Minna sembari menerawang. Aku mendengus kesal. Entah sudah berapa kali aku menahan kesal seperti ini sejak dua bulan lalu.
"Minho oppa lagi," gumamku kesal. Minna langsung menoleh ke arahku. Sepertinya dia marah.
"Oppa memang ingin menonton film ini, kok!" kata Minna ketus.
"Aku mengerti, Minna. Tapi, sadarlah oppa-mu sudah meninggal! Film yang ingin ditontonnya sudah tayang di bioskop tidak akan membuatnya kembali!" balasku dengan nada tertahan.
Minna tersentak mendengar perkataanku. Seketika air mata menggenang di pelupuk matanya.
Aku benci suasana ini.
Aku menarik tangannya ke sudut pusat perbelanjaan yang lebih sepi dari lalu lalang orang-orang. Minna terus saja menunduk.
"Taemin, lepaskan tanganku," pintanya lirih. Aku melepaskan tangannya. Minna mengangkat wajahnya. Pipinya sudah basah oleh air matanya sendiri.
"Minna...," aku menggerakkan tanganku hendak mengusap pipinya, tapi dia menepisnya pelan. Aku menghela napas. "Minna, mau sampai kapan kau terus begini? Apa kau pikir Oppa-mu akan bahagia jika melihatmu seperti ini?" tanyaku lembut.
"Jangan berkata seolah kau mengerti soal kematian, Taemin," Minna bersuara. "Dari mana kau tahu tentang itu?"
"Kau dengar sendiri pesan terakhir dari Minho hyung? Dia ingin kau tersenyum," balasku.
"Bagaimana aku bisa tersenyum jika oppa pergi meninggalkanku?" Minna setengah berteriak, napasnya memburu. "Oppa egois! Kenapa meninggalkan aku sendiri? Harusnyaa dia ikut membawaku!"
"Minna, jaga ucapanmu!" kataku cepat. Minna menggeleng, lalu menatapku tajam.
"Mudah bagimu bicara seperti itu! Karena kau tidak punya dongsaeng dan tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan dongsaeng satu-satunya! Dan dia tertabrak tepat di hadapanku, Taemin!" Minna mulai kehilangan kendali emosinya.
Aku mengepalkan tanganku, sudah tidak tahan dengan cerita ini. Aku sudah mendengarnya ribuan kali dan biasanya reaksiku adalah diam. Tapi kali ini, tidak.
"Aku memang tidak akan pernah mengerti bagaimana perasaanmu, Minna. Aku memang anak tunggal, tidak tahu bagaimana rasanya memiliki dan kehilangan dongsaeng satu-satunya. Meskipun aku sudah menganggapnya seperti hyung-ku sendiri, hal itu tidak akan pernah sama dengan rasa kehilanganmu. Tapi satu hal yang harus kau sadari. Kenapa dia mengorbankan dirinya untuk menyelamatkanmu?"
Minna terdiam.
"Karena dia tidak ingin kau terluka. Dia ingin kau tetap hidup. Dia ingin kau selalu tersenyum. Jika sikapmu yang sekarang ini adalah caramu membalas apa yang dia lakukan untuk membuatmu tetap hidup, aku rasa sia-sia saja dia mengorbankan hidupnya untukmu.."
Aku melangkahkan kakiku untun pergi, tanpa sadar tasku menyenggol lengannya, tapi aku tidak berbalik bahkan untuk sekedar minta maaf. Dan Minna juga tidak memanggilku kembali. Kurasa dia perlu waktu untuk sendiri.
Sudah lewat tengah malam dan aku sama sekali tidak bisa tidur mengingat kejadian di pusat perbelanjaan tadi. Sepertinya sikapku kekanak-kanakkan dan sudah bisa dipastikan aku juga kehilangan kendali atas emosiku. Aku merasa bersalah kepada Minna.
Aku meraih ponselku dan mencoba menghubunginya untuk yang kesekian kali malam ini. Sejak tadi ponselnya tidak diangkat. Aku jadi sedikit khawatir. Dan sekarang ponselnya juga tetap tidak diangkat. Ah, semoga saja dia hanya men-silent-kan ponselnya.
Perutku keroncongan, teringat belum makan sejak matahari masih bersinar. Orangtuaku sedang keluar kota. Praktis tidak ada makanan di rumah, kecuali mie instan, tapi perutku sudah tidak mau menerima alasan apapun, meronta meminta segera diisi.
Aku melesat menuju dapur dan mataku tertuju pada tas yang aku lempar sembarangan ke meja makan. Aku menyiapkan mie instan kemasan mangkuk dan menuangkan bumbu serta air panas ke dalamnya lalu menutupnya menunggu matang, dan beralih kepada tas itu. Aku menyentuh tasku, lalu melihat resletingnya sudah terbuka. Eh? Seingatku, aku belum membongkar isinya sejak pulang tadi.
Dengan jantung berdebar aku memeriksa isi tasku dan mendapati buku harian Minho hyung dan buku harianku tidak ada di sana. Wah, bagaimana ini? Apa mungkin terjatuh di pusat perbelanjaan? Aku harus segera mencarinya! Tapi, ini kan sudah lewat tengah malam. Bagaimana ini?
"Aaaarrrrrggghh!" aku menjambak rambutku sendiri karena frustasi. Besok aku harus mencarinya!
Dan nafsu makanku hilang seketika.
You're always in my mind "MINNA" |
✿✿✿
Yang aku ingat aku baru tidur selama satu jam ketika mendengar bel rumahku berbunyi nyaring. Mataku menyipit mencoba menghalangi sinar matahari yang masuk ke kamarku melalui jendela lalu melirik jam di atas mejaku. Ini baru jam enam pagi. Siapa yang iseng berkunjung ke rumahku sepagi ini?
Dengan malas dan masih setengah sadar aku membukakan pintu, tapi tidak ada siapa-siapa. Jadi kemungkinan adalah memang ada orang iseng menekan bel rumahku. Bagus.
Baru saja aku hendak menutup pintu ketika aku melihat sesuatu di atas keset. Aku berlutut untuk memastikan benda apa itu. Mataku terbuka seketika.
Ini... ini... buku harianku dan Minho hyung yang hilang semalaman. Siapa yang mengembalikannya, ya? Dan bagaimana dia bisa tahu jika aku pemilik kedua buku ini?
Oh ya, aku baru ingat jika aku iseng menuliskan alamat rumahku di lembar pertama buku ini. Ternyata berguna juga.
Aku bangkit dan memerhatikan sekelilingku. Tidak ada siapa-siapa. Aku kembali memandang kedua buku itu dan tersenyum sembari menutup pintu.
Siapapun yang telah mengembalikan buku ini, terima kasih.
✿✿✿
Aku mengetuk pintu rumah Minna. Aku harus meminta maaf padanya atas perkataanku kemarin. Bagaimanapun juga aku harus menjaga perasaannya.
Aku terkejut ketika yang membukakan pintu adalah Minna. Ini sangat tidak biasa. Dua bulan terakhir ini Minna tidak pernah membukakan pintu rumah untuk siapa pun, termasuk aku. Satu kemajuan yang luar biasa, tapi aku belum bisa berharap banyak. Ada kantung hitam di bawah matanya, apakah dia semalaman terjaga karena memikirkan yang aku katakan kemarin?
"Minna, soal kemarin, aku minta maaf," kataku pelan. Minna langsung mengangguk.
"Tidak apa-apa. Kau tidak salah," balas Minna cepat. Suasana tiba-tiba berubah kikuk.
"Oya, Taemin, bisa menemaniku jalan-jalan?" tanya Minna, nada suaranya terdengar lembut. Aku melongo. Keanehan kedua dalam kurun waktu kurang dari lima menit terjadi.
"Baiklah," balasku cepat. Ini sungguh langka. Biasanya aku yang mengajaknya jalan-jalan, itupun setengah memaksanya. Dia menyuruhku masuk untuk menunggunya bersiap-siap sejenak, lalu Choi ahjussi dan ahjumma menghampiriku.
"Apa yang terjadi kemarin, Taemin?" tanya Choi ahjumma. Jantungku berdebar keras.
"Itu...," kataku gugup sambil menggaruk leherku yang tidak gatal, bingung harus menjawab apa.
"Tidak apa-apa jika kau tidak bisa menceritakan, Taemin. Tapi ada yang berubah dari Minna hari ini. Dan sepertinya.. perubahan yang baik," kata Choi ahjumma sambil tersenyum. Aku menatap mereka berdua dengan bingung, tidak mengerti maksud pembicaraan ini.
"Ayo, kita berangkat," ajak Minna yang tiba-tiba sudah ada di hadapanku. "Umma, appa, aku pergi dengan Taemin," kata Minna. Ini keanehan ketiga hari ini. Sebelumnya aku yang selalu meminta izin mengajak Minna pergi. Aku juga pamit kepada Choi ahjussi dan ahjumma.
"Kita mau ke mana?" tanyaku pada Minna setelah dia menutup pintu. Minna hanya menggeleng.
"Ke mana saja, asal kau bersamaku," kata Minna enteng, lalu menggenggam erat tanganku.
DEG! Apa ini? Kenapa lagi dengannya? Aigooo...
Tuhan, semoga ini bukan mimpi.
✿✿✿
Aku dan Minna kini berada di satu pusat perbelanjaan besar. Sudah beberapa lama kami berkeliling tanpa tujuan. Dan ya, tangannya masih menggenggam tanganku.
Tiba-tiba langkahnya terhenti ketika kami melewati area bermain ice skating. Minna memandangi orang-orang yang sedang meluncur di atas es dari balik tembok kaca.
"Kau mau bermain ice skating?" tanyaku lembut. Minna sama sekali tidak menoleh kepadaku, tapi dia mengangguk mantap.
"Ya," jawab Minna. Sebelum aku sempat berpikir, dia langsung menarikku ke dalam. Selesai membayar dan memakai sepatu ice skating kami berdua langsung masuk ke arena es.
"Pelan-pelan," kataku memperingatkan Minna ketika dia mengapit lenganku dengan kedua tangannya, seperti takut terjatuh. Aku tersenyum melihat tingkahnya. Sebenarnya kami berdua tidak begitu pandai meluncur di atas es. Tidak seperti Minho hyung.
Sesaat aku terdiam. Apa mungkin Minna kemari karena memikirkan oppa-nya lagi?
"YA! Lee Taemin, kapan kita akan mulai meluncur?" desak Minna. Aku sedikit terkejut karenanya. Dan akhirnya kami berdua meluncur pelan di atas es. Sedikit sulit karena kedua tangan Minna tetap mengapit lenganku. Terlampau erat, malah.
Tiba-tiba seseorang menyenggolku hingga aku terhuyung dan akhirnya terjatuh. Minna juga terjatuh di atasku. Untunglah pisau di bawah sepatuku tidak mengenai Minna.
"Aduuuuh...," aku mengaduh kesakitan sambil mengusap lututku, sampai aku mendengar suara tawa di belakangku.
Aku menoleh ke sumber suara itu dan mendapati Minna sedang tertawa keras. Begitu gelinya hingga dia tertawa sambil memejamkan mata dan tangannya memegangi perutnya.
Apakah ini kenyataan?
"Mau sampai kapan kau mencium es itu? Cepat bangun!" perintah Minna yang tiba-tiba sudah berdiri, masih sambil tertawa. Kesadaranku karena melihat tawanya tadi belum sepenuhnya pulih. Dia mengulurkan tangannya, ingin membantuku berdiri. Aku menerima uluran tangan itu dengan sedikit ragu. "Ayo, kita ke sana!" ajak Minna sambil menarik tanganku. Dia masih tertawa-tawa.
"Ng... Minna, kau baik-baik saja?" tanyaku ragu. Tapi, yang kudapatkan adalah tatapan tajam darinya. Persis seperti Minna yang aku kenal dulu. "Baiklah, baiklah, aku tidak akan bertanya lagi.."
Kami berdua meluncur. Jemari tangan kami saling bertautan dan Minna tertawa-tawa, tampak menikmati suasana ini. Aku juga menikmatinya, mencoba melupakan apa yang terjadi kemarin.
Dan jika boleh narsis, aku rasa kami berdua terlihat seperti sepasang kekasih.
Setelah beberapa putaran, Minna mengajakku beristirahat dengan duduk sekitar area ice skating. Aku tidak tahu kenapa dia memilih area yang cukup sepi dari lalu lalang orang-orang.
"Sepertinya hanya kau yang bisa berkeringat setelah bermain ice skating," kataku sambil mengusap keningnya yang berkeringat. Minna tersenyum menatapku.
"Mianhae, Taemin," kata Minna. Nada bicaranya terdengar sedikit gusar. Aku menjauhkan tanganku dari wajahnya, bingung dengan arah pembicaraan ini. "Belakangan ini aku seperti orang gila karena kehilangan Minho oppa. Kata-katamu kemarin benar, Taemin. Tidak seharusnya aku menyesali kematiannya. Dia mengorbankan hidupnya...demi aku." Nada suara Minna mulai bergetar. Tanganku terkepal, karena jika aku benar-benar merengkuhnya maka setelah itu dia pasti akan menghentikan kata-katanya. Tidak. Sudah saatnya aku membiarkan Minna menguatkan hatinya, mengeluarkan semua beban yang ada di hatinya. Jika tidak, dia akan terus seperti ini. Semua demi kebaikan Minna.
Pandangannya menuju langit-langit. Dia memejamkan matanya dan sepertinya tidak bisa menahan air matanya. Dia menatapku sendu.
"Jika dia memang ingin melihatku selalu tersenyum, aku bisa melakukannya. Aku akan melakukannya. Aku tahu aku bisa, karena dia pernah menjadi bagian dari hidupku...," Minna mulai terisak. Aku memegang kedua bahunya. "Tapi sekarang, biarkan aku menangisinya untuk yang terakhir kalinya. Setelah itu, aku janji, aku tidak akan menangisinya lagi. Aku akan merelakan kepergiannya. Aku akan melupakan semuana. Boleh kan, Taemin?"
Entah kenapa Minna bertanya seperti itu padaku dan entah apakah aku punya kuasa untuk tidak mengabulkan keinginannya. Aku tidak menjawab, hanya melingkarkan tanganku di pinggangnya dan memeluknya erat, membiarkan tangannya melingkar di leherku, menyandarkan dagunya di bahuku. Aku bisa merasakan suara napasnya yang tersengal karena menangis sesenggukan. Aku memejamkan mata dan tersenyum.
"Tidak ada yang memintamu melupakannya, Minna. Justru kau tetap harus mengingatnya."
Aku tahu, Minna gadis yang kuat.
✿✿✿
"Apa? Jadi begitu? Baiklah, aku akan memberitahu Minna."
Aku memutuskan sambungan telepon di ponselku dan menatap Minna yang duduk di sebelahku dan menatapku dengan matanya yang bulat besar.
"Orangtuaku sudah kembali dari luar kota dan orang tuamu sedang makan malam di rumahku. Umma bilang kau nanti janji harus ke rumahku, ya," kataku. Mulut Minna membentuk huruf O lalu mengangguk-angguk. Aku tertawa kecil melihat tingkahnya.
Tak lama, taksi yang kami tumpangi sampai di depan rumahku. Aku membayar taksi dan segera mengajak Minna masuk ke rumahku.
Kami mendengar suara tawa ketika aku membuka pintu rumah. Sepertinya mereka sedang di ruang keluarga. Kami berdua segera menghampiri mereka.
"Ah, kalian muncul tepat pada waktunya!" kata umma begitu melihatku. Aku tersenyum. Minna membungkuk hormat kepada kedua orangtuaku.
Setelah berbasa-basi sejenak, aku mengajak Minna ke halaman belakang rumahku yang berada tepat di belakang ruang keluarga. Ada kolam renang di sana. Aku menggulung celana panjangku sebatas lutut dan duduk di tepi kolam renang, diikuti Minna. Sebenarnya kami sering melakukan ini, tapi aku tidak ingat kapan terakhir kali melakukannya.
"Oya, Taemin, apa ada yang mau kau katakan padaku?" tanya Minna. Aku mengerutkan kening.
"Maksudmu? Sepertinya tidak ada yang mau aku katakan padamu," jawabku sembari mengingat-ngingat. Minna menjitak kepalaku. "Ah, appo!" kataku setengah berteriak sembari mengusap puncak kepalaku.
"Ah, Lee Taemin, kau ini bagaimana, sih? Kenapa tidak katakan saja kalau kau suka padaku?"
DEG!
"Dari mana kau tahu?" tanyaku gugup. Minna tersenyum.
"Dari buku harianmu dan milik oppa," jawab Minna. Keningku kembali berkerut. "Kemarin kau menjatuhkan buku itu. Semalaman aku membacanya sampai tidak tidur. Dan tadi pagi, yang menekan bel rumahmu adalah aku..."
Semua mulai jelas sekarang. Jadi, Minna membaca buku itu? Berarti dia tahu semuanya?
"Lalu sekarang bagaimana?" tanyaku polos.
"Apanya yang bagaimana? Apa oppa tidak pernah bercerita kalau aku menyukaimu?" tanya Minna tak kalah polosnya. Aku tersentak, lalu menggeleng cepat. "Ah, oppa payah. Tapi, oppa kan menulis tentang kita di lembar terakhir buku hariannya."
"Tentang kita? Memangnya kau tahu apa yang Minho hyung tuliskan disitu?" tanyaku bingung.
"Tentu saja aku tahu, itu kan ditulis dalam bahasa Perancis," jelas Minnaa. "Pantas saja oppa tidak mau aku yang menyimpan buku itu. Kalau tidak, pasti aku sudah tahu sejak lama..."
"Tapi, yang ada disitu kan nama Nikki dan Monica..."
"Nikki itu namamu dan Monica itu namaku dalam bahasa Inggris, Taemin."
Aku menatapnya tajam. "Jadi, maksudmu, kau juga... menyukaiku?" aku kembali memastikan pendengaranku. Minna mengangguk, lalu wajahnya berubah merona. Jantungku berdegup kencang, bagaimana ini? Tapi jika aku tidak bergerak sekarang juga.
Aku bergetar mendekati Minna. Sekarang tidak ada jarak antara tubuhku dan tubuh Minna.
Entah keberanian apa yang tiba-tiba muncul di diriku hingga tanganku menarik dagunya, mendekatkan wajahku ke wajahnya. Aku memiringkan kepalaku dan... mengecup bibirnya.
Aku melepaskan kontak bibirku dari bibirnya, tapi tidak menjauhkan wajahku. Ternyata tiga detik berciuman terasa seperti selamanya. Aku tersenyum, sedangkan Minna menatapku bingung.
"Maaf jika aku kurang ajar. Tapi, aku sudah sempat meminta izin kepada oppa-mu untuk menciummu. Dan dia mengizinkan. Kau sudah baca lembaran tepat sebelum lembaran terakhir buku harian Minho hyung yang aku coret seenaknya, kan?"
Minho's Diary |
Minna mengangguk. Lembar sebelum halaman terakhir buku harian Minho hyung memang tulisan tanganku yang meminta izinnya untuk mencium Minna suatu hari nanti. Dan Minho hyung menambahkan tulisan "TENTU SAJA" sebesar-besarnya.
"Tapi...," kata Minna gugup, "kenapa kau tidak meminta izin langsung padaku?"
"Kita akan sama-sama tahu jawabannya sebentar lagi," kataku penuh rahasia, lalu menciumnya lagi sebelum dia bicara. Seperti yang kuduga, dia membalas ciumanku. Berarti dia tidak keberatan jika aku menciumnya, bukan?
Aku menarik tubuhnya mendekat dan merasakan tangannya melingkar di pinggangku. Tidak perlu kata-kata lagi, kami sudah tahu perasaan masing-masing.
Ah, sepertinya orangtua kami berdua menyaksikan aksi kami ini dari dalam rumah.
Ya sudah, mau bagaimana lagi?
✿✿✿
Ternyata kedua adikku saling menyukai! Bukankah berita ini sangat menggembirakan?
Nikki dan Monica, mereka benar-benar pasangan yang serasi!
Tapi, aku memang sengaja tidak mau terlibat dalam perasaan mereka berdua. Sepertinya tidak akan menyenangkan jika Nikki tahu perasaan Minna, dan Monica tahu perasaan Nikki dariku, bukan?
Jadi biar saja mereka saling mengungkapkan perasaan masing-masing. Itu akan jauh lebih menyenangkan.
Aigooo, ternyata adik kecilku sudah besar!
Aku pasti akan menjadi penggemar terberat mereka berdua, hahaha.
Aku percaya mereka akan menjadi pasangan kekasih paling bahagia sedunia. Dan Monica, dia pasti akan selalu tersenyum jika Nikki ada di dekatnya.
Apa pun, jika menyangkut senyuman di bibir adik kecilku, aku tentu akan merestuinya, bahkan rela mengorbankan yang aku miliki.
Nikki dan Monica, fighting !!
(lembar terakhir buku harian Choi Minho dalam bahasa Perancis)
✿✿✿
THE END
#copy and paste from Book "Best Fanfiction Korea"
0 komentar:
Posting Komentar